Jumat, 21 September 2007
Daniel S. Lev (lahir 23 Oktober 1933 di Youngstown, Ohio, meninggal dunia 29 Juli 2006 di Seattle, Washington, AS) adalah salah seorang Indonesianis dan profesor ilmu politik paling terkemuka dengan perhatian khusus pada Indonesia, khususnya pada masa pembentukan Demokrasi Terpimpin di bawah Presiden Sukarno pada 1957-1959. Prof. Lev banyak berjasa mendidik para ahli hukum dan politik Indonesia. Kematian Pak Dan, begitu biasanya ia disapa oleh murid-muridnya, disebabkan oleh kanker paru-paru.
Cinta Indonesia
Dan Lev bersama istrinya, Arlene, datang ke Indonesia pada usia 20-an tahun dengan menumpang sebuah kapal barang Denmark dalam perjalanan yang memakan 28 hari. Mereka tinggal di sana selama tiga tahun. Kefasihannya berbahasa Indonesia menyebabkan ia diterima banyak orang dan bahkan dianggap sebagai anggota keluarga sendiri.
Sekembalinya ke Amerika Serikat, Dan Lev menempuh studi pasca-sarjananya dan memperoleh gelar MA dan Ph.D.nya dari Universitas Cornell. Ia kemudian mengajar di Universitas California, Berkeley selama lima tahun. Namun karena pandangan-pandangannya yang menentang perang Vietnam, Lev terpaksa meninggalkan Berkeley karena tampaknya ia tidak mungkin mendapatkan jabatan sebagai profesor penuh di universitas itu. Ia pun pindah ke Universitas Washington di Seattle karena administratur universitas tersebut saat itu lebih liberal, sampai memasuki masa emeritasi pada 1999.
Sampai pertengahan bulan Juni 2006, ia masih sempat menulis beberapa artikel dan menyusun serta menyimpan segudang rencana. Namun, keinginannya menyelesaikan buku mengenai Yap Thiam Hien, ahli hukum dan pejuang hak-hak asasi manusia pada tahun 1960-an, tak pernah terpenuhi meski sudah 900 halaman dan hanya tinggal dua bab lagi.
Perhatian Lev terhadap masalah hukum, hak-hak asasi manusia, dan politik di Indonesia telah lama tertanam di dalam dirinya. Menurut Adnan Buyung Nasution, salah seorang sahabat dan promovendusnya hingga mencapai gelar doktor, Lev ikut meletakkan dasar pembentukan Lembaga Bantuan Hukum di Indonesia. Selama 20 tahun ia terus datang membagikan ilmunya tentang demokrasi dan hak-hak asasi manusia.
Kecintaan akan Indonesia dan harapannya bagi masa depan negara ini menyebabkan ia menyumbangkan sebagian besar isi perpustakaannya kepada Pusat Studi Kebijakan dan Hukum (PSHK), tempat para ahli hukum muda melakukan riset tentang reformasi kebijakan.